Saturday, December 23, 2017

Makalah Ekonomi Syariah Teori Konsumsi islam


TEORI KONSUMSI ISLAM


Aktivitas ekonomi yang paling utama adalah konsumsi.
Setelah adanya konsumsi dan konsumen baru ada kegiatan lainnya seperti produksi/produsen, distribusi/ditributor dan lain-lain. Konsumsi dalam ekonomi Islam adalah upaya memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam


1.      Arti dan Tujuan Konsumsi Islam

Nilai ekonomi tertinggi dalam Islam adalah falah atau kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat yang meliputi material, spritual, individual dan sosial. Kesejahteraan itu menurut Al Ghazali adalahmashlaha (kebaikan). Karena itu, falah adalah manfaat yang diperoleh dalam memenuhi kebutuhan ditambah dengan berkah (falah = manfaat + berkah). Jadi yang menjadi tujuan dari ekonomi Islam adalah tercapainya atau didapatkannya falah oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Ini artinya dalam suatu masyarakat seharusnya tidak ada seorangpun yang hidupnya dalam keadaan miskin. Dalam upaya mencapai atau mendapatkan falah tersebut, manusia menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan yang dihadapi untuk mendapatkan atau upaya mencapai falah menjadi masalah dasar dalam ekonomi Islam. Mendapatkan falah dapat dilakukan melalui konsumsi, produksi dan distribusi berdasarkan syariat Islam. Hal itu berarti bahwa setiap aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi, produksi dan distribusi harus selalu mengacu pada fiqih Islam, mana yang boleh, mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan. Eksistensi keimanan dalam prilaku ekonomi Islam manusia menjadi titik krusial termasuk dalam konsumsi, produksi maupun distribusi. Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Dalam melaku-kan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam.

Dasar prilaku konsumsi itu antara lain :
1. Al Qur’an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meng-haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas. Dan makanlah yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah  rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya

2. Al Qur’an surat al Isra’ ayat 28 yang artinya “Sesungguh-nya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.  Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas”. (al-Isra’ :27-28).
Berdasarkan ayat Al Qur’an dan Hadist di atas dapat dijelaskan bahwa yang dikonsumsi itu adalah barang atau jasa yang halal, bermanfaat, baik, hemat dan tidak berlebih-lebihan (secukupnya). Tujuan mengkonsumsi dalam Islam untuk memaksimalkan maslahah, (kebaikan) bukan memaksimalkan kepuasan (maximum utility) (P3EI UII. 2008) seperti di dalam ekonomi konvensional. Utility merupakan kepuasan yang dirasakan seseorang yang bisa jadi kontradiktif dengan kepentingan orang lain. Sedang-kan maslahah adalah kebaikan yang dirasakan seseorang bersama pihak lain.

    Dalam memenuhi kebutuhan, baik itu berupa barang maupun dalam bentuk jasa  atau konsumsi, dalam ekonomi Islam harus menurut syariat Islam. Konsumsi dalam Islam bukan berarti “memenuhi” keinginan libido saja, tetapi harus disertai dengan “niat” supaya bernilai ibadah. Dalam Islam, manusia bukan homo economicus tapi homo Islamicus. Homo Islamicus yaitu manusia ciptaan Allah SWT yang harus melakukan segala sesuatu sesuai dengan syariat Islam, termasuk prilaku konsumsinya.

    Dalam ekonomi Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan merupakan ibadah, termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi (1997), dalam melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada barang yang halal dan baik dengan cara berhemat (saving), berinfak (mashlahat) serta menjauhi judi, khamar,gharar dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang dilakukan manusia (terutama Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan, kemubadziran dan menghindari hutang. Islam melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab konsumsi diluar dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang sia-sia dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali. Sebagai contoh, apabila prilaku konsumsi seseorang bersifat boros, misalnya saja pada saat makan seseorang masih menyisakan makanannya sekitar 15% dari yang dikonsumsinya. Sisa tersebut dianggap setara dengan 5 gram beras dan jika dari 6,5 milyar penduduk dunia ternyata 5% saja melakukan hal yang demikian, maka sisa makanan yang terbuang sia-sia per hari nya yaitu sekitar 5 gram x 2 kali makan sehari x (0,05 x 3,25 milyar) = 16.250 ton beras. Artinya makanan yang terbuang sia-sia per hari adalah 16.250 ton dan dalam setahun sebanyak 5,850 juta ton setara beras. Selain itu berapa banyak tenaga yang terbuang sia-sia .

Gambar 1. Kurva Konsumsi Islami

Karena itu, konsumsi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
Konsumsi = Maslahah = Manfaat + Berkah

Dengan mengkonsumsi sesuatu, maka diharapkan akan didapat manfaat, yang dapat dirinci sebagai berikut; 
1. Manfaat material, seperti murah, kaya, dan lainnya.
2. Manfaat fisik/psikis meliputi rasa aman, sehat, nyaman dan lain sebagainya.
3. Manfaat intelektual, seperti informasi, pengetahuan dan lainnya.
4. Manfaat lingkungan, eksternalitas positif.
5. Manfaat secara inter-generational dan antar-generationnal, yaitu adanya kelestarian, bermanfaat untuk keturunan dan generasi yang akan datang.

Sedangkan berkah yang diharapkan didapat dari aktivitas konsumsi tersebut yaitu
  1. Kehalalan barang dan jasa yang dikonsumsi  
  2. Tidak Israf artinya memberikan kegunaan bagi yang mengkonsumsinya maupun bagi yang lainnya 
  3. Mendapat Ridho Allah.

2. Fungsi Konsumsi Islam
     Dalam ekonomi Islam, setiap aktivitas konsumsi, bagi semua orang akan selalu menghadapi kendala. Kendala utama yang dihadapi dalam melakukan konsumsi adalah:
1). Anggaran
2). Berkah minimum,
3). Israf dan moral Islam.
  
   3. Perilaku Konsumsi Islami
      Dalam melakukan kegiatan konsumsi, Islam telah mengaturnya secara baik. Prilaku konsumsi Islami membedakan konsumsi yang dibutuhkan (needs) yang dalam Islam disebut kebutuhan hajat dengan konsumsi yang dinginkan (wants) atau disebut syahwat. Konsumsi yang sesuai kebutuhan atau hajat adalah konsumsi terhadap barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan untuk hidup secara wajar. Sedangkan konsumsi yang disesuai dengan keinginan atau syahwat merupakan konsumsi yang cenderung berlebihan, mubazir dan boros.

     Dalam melakukan konsumsi yang bersifat me-menuhi keinginan (wants) atau syahwat adalah konsumsi yang kurang bahkan tidak mempertimbangkan;
1) Apakah yang dikonsumsi tersebut ada maslahanya atau tidak
2) Tidak mempertimbangkan norma-norma yang disyariat-kan dalam Islam.
3) Kurang atau tidak mempertimbangkan akal sehat.
         
   Konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yang disebut hajat merupakan konsumsi yang betul-betul dibutuhkan untuk hidup secara wajar dan memperhatikan maslahatnya. Artinya konsumsi tersebut dilakukan karena barang dan jasa yang dikonsumsi mempunyai maslahat dan dibutuhkan secara riil serta memperhatiakan normanya. Mempunyai mashlahat itu artinya bahwa barang dan jasa yang dikonsumsi mem-berikan manfaat untuk kehidupan dan berkah untuk hari akhirat . Konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yaang bersifat hajat ini dapat pula dibagi dalam 3 (tiga) sifat (Mustafa Edwin dkk. 2006) yaitu:

1) Kebutuhan (hajat) yang bersifat dhoruriyat yaitu kebutuhan dasar dimana apabila tidak dipenuhi maka kehidupan termasuk dalam kelompok fakir seperti sandang, pangan, papan, nikah, kendaraan dan lain lain.
2) Kebutuhan (hajat) yang bersifat hajiyaat yaitu pemenuhan kebutuhan (konsumsi) hanya untuk mempermudah atau menambah kenikmatan seperti makan dengan sendok. Kebutuhan ini bukan merupakan kebutuhan primer.
3)  Kebutuhan (hajat) yang bersifat tahsiniyat yaitu kebutuhan di atashajiyat dan di bawah tabzir atau kemewahan

Semoga bermanfaat dan terima kasih 

No comments:

Post a Comment

Undang - undang Keuangan Negara

Undang - Undang Keuangan Negara 1. UU no.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam undang – undang tersebut mengatur tentang keu...